Bab 1
Lathifa
S
|
abtu pagi langkah kaki Lathifa melangkah melewati ruang-ruang kelas yang
terlihat tua. Pagi ini Tifa ingin bergegas ke kelas agar dapat cepat bertemu
dengan Ustadz Ridwan untuk menanyakan pendapat Ustadz Ridwan tentang posisi
seorang wanita Muslimah. Lathifa adalah seorang gadis 18 tahun yang sangat
pandai di bidang agama. Sosok ceria dan cerdas itulah membuat Tifa sangat disayangi
oleh Ustadz dan ustadzah di pesantren Nurul Khasanah, tapi dari sekian banyak
ustadz dan ustadzah di pesantren itu ada satu Ustadz yang sering berdebat
dengan Tifa, yaitu Ustadz Ridwan.
Pemikiran Ustadz Ridwan tentang hak dan kewajiban seorang
Muslimah itulah yang membuat Tifa sering mendatanginya dan berdebat dengan
beliau. Ustadz Ridwan beranggapan bahwa seorang Muslimah haruslah berada di
dalam rumah dan tidak boleh beraktifitas diluar kecuali bersih-bersih. Tifa
merupakan gadis yang sangat mencintai kodratnya sebagai seorang wanita,
sehingga bibirnya sering terangkat ke kanan ketika mendengar Ustadz Ridwan
menyindir sosok wanita di luar pesantren yang sering keluar rumah bahkan untuk
bekerja karena dianggap mengungguli kewajiban laki-laki.
Saling ungkap pendapat antara Tifa dan Ustadz sudah
terjadi ketika Tifa datang ke pasantren ini sekitar sebelas tahun lalu. Banyak
ustadz yang ingin memusyawarahkan hal ini agar tidak terjadi hal-hal negatif
yang mungkin dapat terjadi. Namun, Kyai Rosyid (tetua pesantren) menginginkan
agar hal ini agar dapat mengalir seperti arus air yang mengalir deras namun
akan lebih cepat untuk sampai tujuan.
Hal positif yang ada dalam perdebatan tersebut adalah
sebuah syair puisi yang terangkai indah yang selalu terurai dari kedua belah
pihak.
Ustadz Ridwan
Sang bintang tetap akan menjadi bintang
Yang akan selalu bersembunyi digelap malam
Andaikan bintang itu datang
Maka tak seindah sekarang
Karena bintang indah karena kejauhan
Biarlah hanya rembulan yang datang
Menjadi sinar yang terang dikala malam
Sebab sinar sang bintang
Takkan lebih trang dari rembulan
Lathifa
Biarkan bintang menjadi bintang
Biarkan bulan menjadi bulan
Bintang haruslah berjauhan
Agar untuk membantu rembulan
Sebab, rembulan bukanlah rembulan
Jika tak ada bintang-bintang
Puluhan tangan selalu
beradu menghiasi suasana kelas ketika datang hari sabtu. Hal ini tentu saja
tidak membuat Tifa sombong ataupun marah kepada Ustadz Ridwan karena senyum
selalu terpancar diantara keduanya ketika seruan syair selesai terdengar,
begitu pula sebaliknya. Ya, ini merupakan sikap pendewasaan.
Lathifa sangat pandai
mengarang kata-kata, terbukti dari lima puluh persen buku tulis yang dikirim
orang tuanya banyak yang dia gunakan untuk mengarang cerita pendek atau novel
bersambung. Walaupun begitu, hati Tifa masih merasa tidak tenang karena merasa
tidak ada media yang akan menyebarkan karangannya yang indah itu. Tapi, bukan
Lathifa namanya bila akal berkurang dari otaknya. Lathifa berjanji dalam hati,
suatu saat dia akan menjadi seorang pengarang yang dilihat oleh dunia, tapi
untuk saat ini biarlah para santriwati yang bisa melihat karangannya.
Untuk saat ini Tifa sangat
berharap bahwa pesantren yang ia tempati mau memasukkan benda elektronik ke
dalam lingkungan pesantren. Di setiap ustadz bertanya kepada muridnya tentang
pelajaran di kelas, Tifa selalu mengangkat tangan dan bertanya tentang hadirnya
komputer di lingkungan ini. Jelas para kyai sampai Ustadz dan Ustadzah menolak
untuk menanggapi permintaan Tifa, pasalnya, mereka beranggapan bahwa komputer
lebih bayak mudhorotnya dari pada manfaatnya. Bahkan hal ini pernah jadi
perdebatan para Ustadz tentang status halal haramnya sebuah komputer bagi
Muslimah.
Sering Tifa menghilang
dari pesantren ketika waktu tidur siang tiba dan tidak ada yang mencarinya.
Menghilangnya Lathifa bukan untuk bersenang-senang melampiaskan ketidak
puasannya atas keputusan para kyai, tapi dia pergi untuk mengembangkan
bakatnya. Setiap waktu tidur siang, Tifa sering pergi ke Warnet disekitar
pedesaan untuk bermain internet sekaligus komputer. Banyak uang dari kiriman
orang tua Tifa habis untuk bermain internet. Sering juga Tifa menuliskan
cerita-cerita yang bersambung di jejaring sosial.
Banyak sekali puisi yang
ditulis Tifa, bahkan Tifa sering mendapat like lebih dari lima puluh karena
puisinya. Salah satunya adalah seperti puisi “kambing dalam Bayangan”
Kambing Hitam dalam Bayangan
Bisa dibayangkan seperti apa aku
Aku bagai mutiara yang indah
Namun tertutup karang
Hidup terkekang
Seperti penjara buatan
Mungkin hidupku seperti ayam
Yang ditaruh dalam kandang
Dan dihantam batu jika keluar dari batas tuan
Bisa dibayangkan seperti apa aku
Aku terkekang
Tak boleh keluar kandang
Seperti halnya burung sangkar
Yang tak diperbolehkan terbang
Bila aku membayangkan
Aku tak ingin menjadi burung atau ayam
Tapi kambing hitam dalam bayangan
Lathifa adalah santriwati
yang sangat taat beribadah, hanya saja dia berbeda dengan santriwati lainnya.
Jika santriwati lainnya berusaha susah payah mendalami ilmu agama untuk
akhirat, Tifa sangat ingin menyeimbangkan ilmu dunia dan akhiratnya. Namun
kehidupan di pesantren Nurul Khasanah tidak mendukung keinginan tersebut,
sehingga aroma teknologi dan kehidupan dunia luar sangat membuatnya terpesona.
Pada saat Tifa pulang
kampung kerumahnya di Kudus selalu digunakan Tifa untuk menyentuh komputer lama
yang berada di kamar ayahnya. Lembar demi lembar Tifa menyalin buku novelnya ke
dalam komputer. Sering kegiatan yang Tifa lakukan ini membuat Tifa lupa akan
perutnya yang terus berdendang seperti ketukan gendang dalam musik dangdut.
Tentu saja ibu Lathifa atau biasa dipanggil ibu Salmah selalu berkicau
disaat melihat Lathifa berpetualang
dengan imajinasinya di Microsoft Word.
“bok ya kamu makan dulu
Tifa, nasi tak selamanya menjadi nasi” kata halus seorang ibu Salmah.
“sebentar mak... Tifa
hanya menyusun kelereng biar bisa berharga” sahut Tifa dengan pandangan mata
tetap melihat ke arah komputer dan tangan tetap memijit huruf-huruf yang
berpencar di papan hitam.
“kamu yakin nok, bahwa
kelereng bisa menjadi mutiara. Begitu susah hidup jika terus mengandalkan
kelereng” kata sang ibu yang mencoba merayu anaknya untuk makan.
“kita hanya bisa balajar,
berjuang dan bertaqwa mak... Benang bisa seperti sutra jika di tangan orang
yang pandai, kelereng bisa menjadi mutiara jika ditangan orang yang selalu
berjuang dan hidup akan menjadi tentram ketika bertaqwa kepada Allah. Lalu, apa
yang perlu kita ragukan dalam hidup.” Kata-kata Tifa yang kini mejadi ide untuk
karangnnya.
“ma’e bangga atas usahamu
nok, tapi seorang ibu akan lebih bangga ketika anaknya sehat dan bisa menjaga
dirinya.” Senyum ibu Salmah kearah anak perempuan satu-satunya.
“sip, mak...” bergegas
Tifa menyelesaikan apa yang dia lakukan dan berpaling ke arah sang ibu dengan
tangan dalam posisi hormat seperti tentara.
Bisa dikatakan jika
Lathifa adalah seorang anak yang manja kepada kedua orang tuanya. Anak
satu-satunya yang sudah lama jauh dari orang tuanya merupakan faktor utama dari
sifat manjanya. Tidak jarang sikap manja anak tujuh tahun selalu diperlihatkan
dihadapan kedua orang tuanya ketika Tifa mendapatkan waktu untuk dirumah.
Keluarga Lathifa bukanlah
termasuk keluarga yang mampu, tapi bukan pula tergolong pada keluarga yang
tidak mampu. Biasa saja, itu yang membuat keuarga ini mensyukuri ni’mat yang
diberikan kepada tuhan. Mereka berpendapat jika mereka kaya nanti, mereka akan
melupakan tuhan yang telah memberikan rizki yang berlimpah kepada mereka.
Apabila mereka fakir, hal yang mereka takutkan adalah keluhan yang selalu
terucap di dalam bibir karena bisa saja fakir menjadikan kafir. Begitulah,
setiap hari yang terjadi dalam keluarga ini adalah senyum canda tawa bahagia
yang telah menjadi nada dalam keluarga.
Bapak Salman, begitulah
ayah Lathifa biasa dipanggil adalah seorang guru agama yang mengajar di
Madrasah Tsanawiyah di desa Kedungdowo. Tidak ada yang istimewa dari sosok
bapak yang satu ini, hanya seorang ayah yang selalu mencoba menjadi yang
terbaik bagi anaknya dan seorang suami yang bekerja banting tulang untuk
menghidupi keluarganya agar tetap dalam kehidupan yang seimbang.
Selalu ada hal yang
dikhawatirkan oleh seorang ayah kepada anaknya, begitu pula bapak Salman. Dalam
pikiran ayah ini, apakah dia bisa tetap membiayai anaknya untuk bisa menempuh
pendidikan yang lebih tinggi. Pertanyaan inilah yang pernah terucap ketika
keluarga ini sedang makan bersama.
“ndok, apa rencanamu
selanjutnya,,, bukankah sebentar lagi kamu sudah tidak di pesantren lagi...”
pertanyaan bapak Salman kepada anaknya.
“saya ingin menjadi
seorang penulis pak” jawab Tifa dengan penuh keyakinan.
“ya kalau gitu, semoga
kamu bejo ya ndok... pa’e hanya bisa berdo’a, ndak sanggup membantu banyak, la...
pa’e cuma guru biasa yang tinggal di desa Blimbing Kidul yang merupakan desa
terpencil.” Ucap bapak Salman.
“nggeh pak, orang bodoh
itu kalah sama orang pintar dan orang pintar kalah sama orang bejo, tapi
setidaknya aku berusaha menjadi pintar agar lebih dekat dengan bejo, karena
sesungguhnya bejo itu lebih dekat dengan orang pintar yang berusaha dari pada
orang pintar yang diam apalagi orang bodoh. Kalau boleh, Tifa ingin kuliah
pak.” Permintaan polos Tifa.
“orang tua mana yang akan
menolak seorang anak yang mau berjihad untuk memberantas kebodohan. Sebisa
mungkin bapak akan berusaha agar cita-cita kamu bisa nyata.” Dengan suara halus
bapak Salman menjawab permintaan anaknya. Suasana yang sangat hangat hadir
bagaikan embun yang selalu datang di pagi hari kala itu. Lathifa merasa ini
adalah saat-saat terindah yang tidak akan pernah dilupakan, sungguh indah
nikmat yang Allah berikan kepada hambanya berupa suasana makan bersama keluarga
tercinta.
“memangnya kamu mau kuliah
dimana dan mau ambil jurusan opo nok?” sahut ibu Salmah memotong pembicaraan
ayah dan anak itu.
“insyaallah Tifa mau
kuliah di Kudus mak, Tifa ndak mau jauh dari pa’e dan ma’e. Nanti biar Tifa
ambil di fakultas yang mengedepankan ilmu Agama dan rencananya Tifa akan
mengambil jurusan Syari’ah Ekonomi Islam” jawab Tifa dengan penuh kehalusan.
“lo, bukane kamu suka
menulis tho nok. Apa kamu yakin ndak mau ambil jurusan bahasa saja?” Tanya ibu
Salmah sambil menuangkan minum untuk bapak Salman.
“Menulis bisa belajar dari
mana saja mak, untuk saat ini Tifa hanya ingin menimba ilmu, Tifa mengambil
jurusan Syari’ah Ekonomi Islam karena Tifa pikir sudah saatnya Tifa
menyeimbangkan ilmu agama Tifa dengan ilmu dunia. Toh juga kalau ambil jurusan
bahasa pasti biayanya mahal, Tifa ndak mau nyusahin pa’e dan ma’e.” Singkat
penjelasan Tifa kepada ibunya.
“ndak apa-apa tho mak,
masih ada banyak jalan menuju Roma. Jika memang Tifa tidak mengambil jurusan
bahasa, pasti masih banyak jalan untuk menjadi penulis, yang penting untuk saat
ini adalah jihadnya Tifa untuk memberantas kebodohan. Syari’ah Ekonomi Islam
juga kan bagus, itung-itung akan membantu Tifa nanti dari penipuan.” Sambung
bapak Salman meneruskan kata-kata Tifa. Serentak suasana menjadi semakin indah
karena tawa bahagia merona di bibir mereka.
Lathifa berharap agar
keluarga ini akan tetap seperti ini, ceria, tenang dan bahagia seperti sosok
keluarga yang selalu didambakan oleh kebanyakan orang. Perasaan ini mendadak
berubah ketika Tifa membayangkan bahwa dia adalah seorang gadis yang telah berumur
delapan belas tahun. Lathifa takut akan menghadapi pernikahan di usia muda
karena kebanyakan gadis seusianya sudah banyak yang menikah. Memang ketakutan
itu wajar adanya, karena Tifa masih ingin bisa bersama keluarganya menjadi
seorang anak yang akan selalu dimanja kedua orang tuanya.
Kedua mata Tifa serentah
bergerak kearah ibu Salmah yang duduk di sebrang meja di depan Tifa. Dalam
pikirannya tak terbayang bagaimana rasa harus berpisah dengan ibu tercinta
nanti karena pernikahan. Walaupun kata pernikahan itu terasa masih akan lama,
tapi kata lama itu akan terasa singkat terdengar ketika terbayang kasih sayang
ibu dari kecil.
Bagi Tifa, ibu adalah
sosok wanita yang sangat tegar dan penyayang. Walau banyak pepatah yang
mengatakan kasih sayang anak hanya sebatas jalan dan kasih ibu sepanjang usia,
tapi untuk tifa, kasih sayang seorang anak akan tetap ada sampai kapanpun.
Begitulah kata yang selalu Ibu salmah katakan ketika menceritakan sosok ibu
dari ibu salmah kepada Tifa.
Ibu Salmah dahulu adalah seorang
gadis muda yang tidak mempunyai apa-apa. Sepanjang usia mudanya dihabiskan
untuk pergi ke pasar dengan ibunya untuk menjual beberapa ayam muda yang dia
pelihara. Ibu Salmah dari kecil sudah hidup sebatang kara dengan ibunya karena
ayahnya telah tiada semenjak berusia tiga tahun. Maka dari itu ibu Salmah
mengetahui perjuangan seorang ibu kepada anaknya. Karena itulah, ibu Salmah
sangat menyayangi ibunya lebih dari apapun di dunia ini. Bahkan sampai dalam
pernikahannya dengan bapak Salman, ibu Salmah meminta izin kepada suaminya
untuk diperbolehkan merawat sang ibu di masa tuanya. Sampai sekarang setelah
kematiannya dua belas tahun lalu, ibu Salmah tetap mendo’akan ibunya yang telah
tiada. Itulah yang menjadi contoh pandangan hidup bagi Tifa.
Rindu Ibu
Sosok ibu menjadi langkah hidupku
Menjadi nadi di tanganku
Betapa aku sangat merindu ibu
Seperti kala aku dipeluknya
Semasa kecilku dulu
Namun tak ada yang abadi
Semua kenangan hanya menjadi kenangan
Kini ibu telah tiada
Menyisakan air mata karena cinta
Teringat masa kecil dulu
Dimana aku dipeluknya
Selalu diciumnya
Dan digendong kasih sayangnya
Namun kini tak ada yang sehangat peluknya
Tak semanis ciumannya
Dan tak seindah kasih sayangnya
Jika engkau mendengarkan aku ibu
Ingin aku memelukmu
Berharap mendapat kasih sayangmu
Dan berkata, aku rindu kepadamu
Kenangan yang tak
terlupakan bersama seroang ibu akan menjadi cinta yang baru untuk anaknya
kelak. Begitu pula yang terjadi kepada ibu Salmah, kenangan yang indah bersama
sang ibu telah menjadi kekuatan untuk memberi kenangan yang baru bersama
anaknya, Lathifa. Semua itu yang dirasakan oleh Tifa. Hadiah puisi “Rindu Ibu”
adalah rasa penghargaan yang diberikan Tifa kepada ibu Salmah yang selalu
mencintai ibunya dan puisi itu juga menjadi kado terindah bagi ibu Salmah dari
anak tercinta.
Air mata Tifa menetes
ketika memandangi ibunya kala itu. Rasa syukur selalu di panjatkan kepada Tuhan
yang Maha Esa karena Tifa masih bisa merasakan keluarga yang harmonis.
“Tifa, Tifa, ono opo nok?”
suara ibu salmah yang memanggil anaknya yang terlihat meneteskan air mata.
Perlahan Tifa beranjak dari tempat duduknya dan mendekati ibunya yang mulai
keheranan. Perlahan Tifa memeluk ibunya seranya menyusun senyuman manis di
bibirnya dan berkata, “aku sayang ma’e”.
Suatu hari nanti memang
akan datang masa dimana Lathifa akan menjalani hidup seperti kedua orang
tuanya. Namun saat ini hal itu tidak perlu dipikirkan oleh anak remaja yang
tumbuh dewasa. Mereka hanya perlu berpikir bagaimana cara untuk menyusun masa
depannya agar menjadi lebih baik. Semboyan bagi Tifa adalah hidup saat ini
adalah perjuangan untuk hidup saat depan dan jika tak berjuang maka hidup kita
kedepan akan mati.
#