Selasa, 18 September 2012

coretan gadis syal merah


Bab 1
Lathifa

S
abtu pagi langkah kaki Lathifa melangkah melewati ruang-ruang kelas yang terlihat tua. Pagi ini Tifa ingin bergegas ke kelas agar dapat cepat bertemu dengan Ustadz Ridwan untuk menanyakan pendapat Ustadz Ridwan tentang posisi seorang wanita Muslimah. Lathifa adalah seorang gadis 18 tahun yang sangat pandai di bidang agama. Sosok ceria dan cerdas itulah membuat Tifa sangat disayangi oleh Ustadz dan ustadzah di pesantren Nurul Khasanah, tapi dari sekian banyak ustadz dan ustadzah di pesantren itu ada satu Ustadz yang sering berdebat dengan Tifa, yaitu Ustadz Ridwan.
Pemikiran Ustadz Ridwan tentang hak dan kewajiban seorang Muslimah itulah yang membuat Tifa sering mendatanginya dan berdebat dengan beliau. Ustadz Ridwan beranggapan bahwa seorang Muslimah haruslah berada di dalam rumah dan tidak boleh beraktifitas diluar kecuali bersih-bersih. Tifa merupakan gadis yang sangat mencintai kodratnya sebagai seorang wanita, sehingga bibirnya sering terangkat ke kanan ketika mendengar Ustadz Ridwan menyindir sosok wanita di luar pesantren yang sering keluar rumah bahkan untuk bekerja karena dianggap mengungguli kewajiban laki-laki.
Saling ungkap pendapat antara Tifa dan Ustadz sudah terjadi ketika Tifa datang ke pasantren ini sekitar sebelas tahun lalu. Banyak ustadz yang ingin memusyawarahkan hal ini agar tidak terjadi hal-hal negatif yang mungkin dapat terjadi. Namun, Kyai Rosyid (tetua pesantren) menginginkan agar hal ini agar dapat mengalir seperti arus air yang mengalir deras namun akan lebih cepat untuk sampai tujuan.
Hal positif yang ada dalam perdebatan tersebut adalah sebuah syair puisi yang terangkai indah yang selalu terurai dari kedua belah pihak.
Ustadz Ridwan
Sang bintang tetap akan menjadi bintang
Yang akan selalu bersembunyi digelap malam
Andaikan bintang itu datang
Maka tak seindah sekarang
Karena bintang indah karena kejauhan

Biarlah hanya rembulan yang datang
Menjadi sinar yang terang dikala malam
Sebab sinar sang bintang
Takkan lebih trang dari rembulan

Lathifa
Biarkan bintang menjadi bintang
Biarkan bulan menjadi bulan

Bintang haruslah berjauhan
Agar untuk membantu rembulan

Sebab, rembulan bukanlah rembulan
Jika tak ada bintang-bintang
            Puluhan tangan selalu beradu menghiasi suasana kelas ketika datang hari sabtu. Hal ini tentu saja tidak membuat Tifa sombong ataupun marah kepada Ustadz Ridwan karena senyum selalu terpancar diantara keduanya ketika seruan syair selesai terdengar, begitu pula sebaliknya. Ya, ini merupakan sikap pendewasaan.
            Lathifa sangat pandai mengarang kata-kata, terbukti dari lima puluh persen buku tulis yang dikirim orang tuanya banyak yang dia gunakan untuk mengarang cerita pendek atau novel bersambung. Walaupun begitu, hati Tifa masih merasa tidak tenang karena merasa tidak ada media yang akan menyebarkan karangannya yang indah itu. Tapi, bukan Lathifa namanya bila akal berkurang dari otaknya. Lathifa berjanji dalam hati, suatu saat dia akan menjadi seorang pengarang yang dilihat oleh dunia, tapi untuk saat ini biarlah para santriwati yang bisa melihat karangannya.
            Untuk saat ini Tifa sangat berharap bahwa pesantren yang ia tempati mau memasukkan benda elektronik ke dalam lingkungan pesantren. Di setiap ustadz bertanya kepada muridnya tentang pelajaran di kelas, Tifa selalu mengangkat tangan dan bertanya tentang hadirnya komputer di lingkungan ini. Jelas para kyai sampai Ustadz dan Ustadzah menolak untuk menanggapi permintaan Tifa, pasalnya, mereka beranggapan bahwa komputer lebih bayak mudhorotnya dari pada manfaatnya. Bahkan hal ini pernah jadi perdebatan para Ustadz tentang status halal haramnya sebuah komputer bagi Muslimah.
            Sering Tifa menghilang dari pesantren ketika waktu tidur siang tiba dan tidak ada yang mencarinya. Menghilangnya Lathifa bukan untuk bersenang-senang melampiaskan ketidak puasannya atas keputusan para kyai, tapi dia pergi untuk mengembangkan bakatnya. Setiap waktu tidur siang, Tifa sering pergi ke Warnet disekitar pedesaan untuk bermain internet sekaligus komputer. Banyak uang dari kiriman orang tua Tifa habis untuk bermain internet. Sering juga Tifa menuliskan cerita-cerita yang bersambung di jejaring sosial.
            Banyak sekali puisi yang ditulis Tifa, bahkan Tifa sering mendapat like lebih dari lima puluh karena puisinya. Salah satunya adalah seperti puisi “kambing dalam Bayangan”
Kambing Hitam dalam Bayangan

Bisa dibayangkan seperti apa aku
Aku bagai mutiara yang indah
Namun tertutup karang
Hidup terkekang
Seperti penjara buatan

Mungkin hidupku seperti ayam
Yang ditaruh dalam kandang
Dan dihantam batu jika keluar dari batas tuan

Bisa dibayangkan seperti apa aku
Aku terkekang
Tak boleh keluar kandang
Seperti halnya burung sangkar
Yang tak diperbolehkan terbang

Bila aku membayangkan
Aku tak ingin menjadi burung atau ayam
Tapi kambing hitam dalam bayangan
            Lathifa adalah santriwati yang sangat taat beribadah, hanya saja dia berbeda dengan santriwati lainnya. Jika santriwati lainnya berusaha susah payah mendalami ilmu agama untuk akhirat, Tifa sangat ingin menyeimbangkan ilmu dunia dan akhiratnya. Namun kehidupan di pesantren Nurul Khasanah tidak mendukung keinginan tersebut, sehingga aroma teknologi dan kehidupan dunia luar sangat membuatnya terpesona.
            Pada saat Tifa pulang kampung kerumahnya di Kudus selalu digunakan Tifa untuk menyentuh komputer lama yang berada di kamar ayahnya. Lembar demi lembar Tifa menyalin buku novelnya ke dalam komputer. Sering kegiatan yang Tifa lakukan ini membuat Tifa lupa akan perutnya yang terus berdendang seperti ketukan gendang dalam musik dangdut. Tentu saja ibu Lathifa atau biasa dipanggil ibu Salmah selalu berkicau disaat  melihat Lathifa berpetualang dengan imajinasinya di Microsoft Word.
            “bok ya kamu makan dulu Tifa, nasi tak selamanya menjadi nasi” kata halus seorang ibu Salmah.
            “sebentar mak... Tifa hanya menyusun kelereng biar bisa berharga” sahut Tifa dengan pandangan mata tetap melihat ke arah komputer dan tangan tetap memijit huruf-huruf yang berpencar di papan hitam.
            “kamu yakin nok, bahwa kelereng bisa menjadi mutiara. Begitu susah hidup jika terus mengandalkan kelereng” kata sang ibu yang mencoba merayu anaknya untuk makan.
            “kita hanya bisa balajar, berjuang dan bertaqwa mak... Benang bisa seperti sutra jika di tangan orang yang pandai, kelereng bisa menjadi mutiara jika ditangan orang yang selalu berjuang dan hidup akan menjadi tentram ketika bertaqwa kepada Allah. Lalu, apa yang perlu kita ragukan dalam hidup.” Kata-kata Tifa yang kini mejadi ide untuk karangnnya.
            “ma’e bangga atas usahamu nok, tapi seorang ibu akan lebih bangga ketika anaknya sehat dan bisa menjaga dirinya.” Senyum ibu Salmah kearah anak perempuan satu-satunya.
            “sip, mak...” bergegas Tifa menyelesaikan apa yang dia lakukan dan berpaling ke arah sang ibu dengan tangan dalam posisi hormat seperti tentara.
            Bisa dikatakan jika Lathifa adalah seorang anak yang manja kepada kedua orang tuanya. Anak satu-satunya yang sudah lama jauh dari orang tuanya merupakan faktor utama dari sifat manjanya. Tidak jarang sikap manja anak tujuh tahun selalu diperlihatkan dihadapan kedua orang tuanya ketika Tifa mendapatkan waktu untuk dirumah.
            Keluarga Lathifa bukanlah termasuk keluarga yang mampu, tapi bukan pula tergolong pada keluarga yang tidak mampu. Biasa saja, itu yang membuat keuarga ini mensyukuri ni’mat yang diberikan kepada tuhan. Mereka berpendapat jika mereka kaya nanti, mereka akan melupakan tuhan yang telah memberikan rizki yang berlimpah kepada mereka. Apabila mereka fakir, hal yang mereka takutkan adalah keluhan yang selalu terucap di dalam bibir karena bisa saja fakir menjadikan kafir. Begitulah, setiap hari yang terjadi dalam keluarga ini adalah senyum canda tawa bahagia yang telah menjadi nada dalam keluarga.
            Bapak Salman, begitulah ayah Lathifa biasa dipanggil adalah seorang guru agama yang mengajar di Madrasah Tsanawiyah di desa Kedungdowo. Tidak ada yang istimewa dari sosok bapak yang satu ini, hanya seorang ayah yang selalu mencoba menjadi yang terbaik bagi anaknya dan seorang suami yang bekerja banting tulang untuk menghidupi keluarganya agar tetap dalam kehidupan yang seimbang.
            Selalu ada hal yang dikhawatirkan oleh seorang ayah kepada anaknya, begitu pula bapak Salman. Dalam pikiran ayah ini, apakah dia bisa tetap membiayai anaknya untuk bisa menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Pertanyaan inilah yang pernah terucap ketika keluarga ini sedang makan bersama.
            “ndok, apa rencanamu selanjutnya,,, bukankah sebentar lagi kamu sudah tidak di pesantren lagi...” pertanyaan bapak Salman kepada anaknya.
            “saya ingin menjadi seorang penulis pak” jawab Tifa dengan penuh keyakinan.
            “ya kalau gitu, semoga kamu bejo ya ndok... pa’e hanya bisa berdo’a, ndak sanggup membantu banyak, la... pa’e cuma guru biasa yang tinggal di desa Blimbing Kidul yang merupakan desa terpencil.” Ucap bapak Salman.
            “nggeh pak, orang bodoh itu kalah sama orang pintar dan orang pintar kalah sama orang bejo, tapi setidaknya aku berusaha menjadi pintar agar lebih dekat dengan bejo, karena sesungguhnya bejo itu lebih dekat dengan orang pintar yang berusaha dari pada orang pintar yang diam apalagi orang bodoh. Kalau boleh, Tifa ingin kuliah pak.” Permintaan polos Tifa.
            “orang tua mana yang akan menolak seorang anak yang mau berjihad untuk memberantas kebodohan. Sebisa mungkin bapak akan berusaha agar cita-cita kamu bisa nyata.” Dengan suara halus bapak Salman menjawab permintaan anaknya. Suasana yang sangat hangat hadir bagaikan embun yang selalu datang di pagi hari kala itu. Lathifa merasa ini adalah saat-saat terindah yang tidak akan pernah dilupakan, sungguh indah nikmat yang Allah berikan kepada hambanya berupa suasana makan bersama keluarga tercinta.
            “memangnya kamu mau kuliah dimana dan mau ambil jurusan opo nok?” sahut ibu Salmah memotong pembicaraan ayah dan anak itu.
            “insyaallah Tifa mau kuliah di Kudus mak, Tifa ndak mau jauh dari pa’e dan ma’e. Nanti biar Tifa ambil di fakultas yang mengedepankan ilmu Agama dan rencananya Tifa akan mengambil jurusan Syari’ah Ekonomi Islam” jawab Tifa dengan penuh kehalusan.
            “lo, bukane kamu suka menulis tho nok. Apa kamu yakin ndak mau ambil jurusan bahasa saja?” Tanya ibu Salmah sambil menuangkan minum untuk bapak Salman.
            “Menulis bisa belajar dari mana saja mak, untuk saat ini Tifa hanya ingin menimba ilmu, Tifa mengambil jurusan Syari’ah Ekonomi Islam karena Tifa pikir sudah saatnya Tifa menyeimbangkan ilmu agama Tifa dengan ilmu dunia. Toh juga kalau ambil jurusan bahasa pasti biayanya mahal, Tifa ndak mau nyusahin pa’e dan ma’e.” Singkat penjelasan Tifa kepada ibunya.
            “ndak apa-apa tho mak, masih ada banyak jalan menuju Roma. Jika memang Tifa tidak mengambil jurusan bahasa, pasti masih banyak jalan untuk menjadi penulis, yang penting untuk saat ini adalah jihadnya Tifa untuk memberantas kebodohan. Syari’ah Ekonomi Islam juga kan bagus, itung-itung akan membantu Tifa nanti dari penipuan.” Sambung bapak Salman meneruskan kata-kata Tifa. Serentak suasana menjadi semakin indah karena tawa bahagia merona di bibir mereka.
            Lathifa berharap agar keluarga ini akan tetap seperti ini, ceria, tenang dan bahagia seperti sosok keluarga yang selalu didambakan oleh kebanyakan orang. Perasaan ini mendadak berubah ketika Tifa membayangkan bahwa dia adalah seorang gadis yang telah berumur delapan belas tahun. Lathifa takut akan menghadapi pernikahan di usia muda karena kebanyakan gadis seusianya sudah banyak yang menikah. Memang ketakutan itu wajar adanya, karena Tifa masih ingin bisa bersama keluarganya menjadi seorang anak yang akan selalu dimanja kedua orang tuanya.
            Kedua mata Tifa serentah bergerak kearah ibu Salmah yang duduk di sebrang meja di depan Tifa. Dalam pikirannya tak terbayang bagaimana rasa harus berpisah dengan ibu tercinta nanti karena pernikahan. Walaupun kata pernikahan itu terasa masih akan lama, tapi kata lama itu akan terasa singkat terdengar ketika terbayang kasih sayang ibu dari kecil.
            Bagi Tifa, ibu adalah sosok wanita yang sangat tegar dan penyayang. Walau banyak pepatah yang mengatakan kasih sayang anak hanya sebatas jalan dan kasih ibu sepanjang usia, tapi untuk tifa, kasih sayang seorang anak akan tetap ada sampai kapanpun. Begitulah kata yang selalu Ibu salmah katakan ketika menceritakan sosok ibu dari ibu salmah kepada Tifa.
            Ibu Salmah dahulu adalah seorang gadis muda yang tidak mempunyai apa-apa. Sepanjang usia mudanya dihabiskan untuk pergi ke pasar dengan ibunya untuk menjual beberapa ayam muda yang dia pelihara. Ibu Salmah dari kecil sudah hidup sebatang kara dengan ibunya karena ayahnya telah tiada semenjak berusia tiga tahun. Maka dari itu ibu Salmah mengetahui perjuangan seorang ibu kepada anaknya. Karena itulah, ibu Salmah sangat menyayangi ibunya lebih dari apapun di dunia ini. Bahkan sampai dalam pernikahannya dengan bapak Salman, ibu Salmah meminta izin kepada suaminya untuk diperbolehkan merawat sang ibu di masa tuanya. Sampai sekarang setelah kematiannya dua belas tahun lalu, ibu Salmah tetap mendo’akan ibunya yang telah tiada. Itulah yang menjadi contoh pandangan hidup bagi Tifa.
Rindu Ibu
Sosok ibu menjadi langkah hidupku
Menjadi nadi di tanganku
Betapa aku sangat merindu ibu
Seperti kala aku dipeluknya
Semasa kecilku dulu

Namun tak ada yang abadi
Semua kenangan hanya menjadi kenangan
Kini ibu telah tiada
Menyisakan air mata karena cinta

Teringat masa kecil dulu
Dimana aku dipeluknya
Selalu diciumnya
Dan digendong kasih sayangnya

Namun kini tak ada yang sehangat peluknya
Tak semanis ciumannya
Dan tak seindah kasih sayangnya

Jika engkau mendengarkan aku ibu
Ingin aku memelukmu
Berharap mendapat kasih sayangmu
Dan berkata, aku rindu kepadamu
            Kenangan yang tak terlupakan bersama seroang ibu akan menjadi cinta yang baru untuk anaknya kelak. Begitu pula yang terjadi kepada ibu Salmah, kenangan yang indah bersama sang ibu telah menjadi kekuatan untuk memberi kenangan yang baru bersama anaknya, Lathifa. Semua itu yang dirasakan oleh Tifa. Hadiah puisi “Rindu Ibu” adalah rasa penghargaan yang diberikan Tifa kepada ibu Salmah yang selalu mencintai ibunya dan puisi itu juga menjadi kado terindah bagi ibu Salmah dari anak tercinta.
            Air mata Tifa menetes ketika memandangi ibunya kala itu. Rasa syukur selalu di panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena Tifa masih bisa merasakan keluarga yang harmonis.
            “Tifa, Tifa, ono opo nok?” suara ibu salmah yang memanggil anaknya yang terlihat meneteskan air mata. Perlahan Tifa beranjak dari tempat duduknya dan mendekati ibunya yang mulai keheranan. Perlahan Tifa memeluk ibunya seranya menyusun senyuman manis di bibirnya dan berkata, “aku sayang ma’e”.
            Suatu hari nanti memang akan datang masa dimana Lathifa akan menjalani hidup seperti kedua orang tuanya. Namun saat ini hal itu tidak perlu dipikirkan oleh anak remaja yang tumbuh dewasa. Mereka hanya perlu berpikir bagaimana cara untuk menyusun masa depannya agar menjadi lebih baik. Semboyan bagi Tifa adalah hidup saat ini adalah perjuangan untuk hidup saat depan dan jika tak berjuang maka hidup kita kedepan akan mati.
#

coretan gadis syal merah


Bab 1
Lathifa

S
abtu pagi langkah kaki Lathifa melangkah melewati ruang-ruang kelas yang terlihat tua. Pagi ini Tifa ingin bergegas ke kelas agar dapat cepat bertemu dengan Ustadz Ridwan untuk menanyakan pendapat Ustadz Ridwan tentang posisi seorang wanita Muslimah. Lathifa adalah seorang gadis 18 tahun yang sangat pandai di bidang agama. Sosok ceria dan cerdas itulah membuat Tifa sangat disayangi oleh Ustadz dan ustadzah di pesantren Nurul Khasanah, tapi dari sekian banyak ustadz dan ustadzah di pesantren itu ada satu Ustadz yang sering berdebat dengan Tifa, yaitu Ustadz Ridwan.
Pemikiran Ustadz Ridwan tentang hak dan kewajiban seorang Muslimah itulah yang membuat Tifa sering mendatanginya dan berdebat dengan beliau. Ustadz Ridwan beranggapan bahwa seorang Muslimah haruslah berada di dalam rumah dan tidak boleh beraktifitas diluar kecuali bersih-bersih. Tifa merupakan gadis yang sangat mencintai kodratnya sebagai seorang wanita, sehingga bibirnya sering terangkat ke kanan ketika mendengar Ustadz Ridwan menyindir sosok wanita di luar pesantren yang sering keluar rumah bahkan untuk bekerja karena dianggap mengungguli kewajiban laki-laki.
Saling ungkap pendapat antara Tifa dan Ustadz sudah terjadi ketika Tifa datang ke pasantren ini sekitar sebelas tahun lalu. Banyak ustadz yang ingin memusyawarahkan hal ini agar tidak terjadi hal-hal negatif yang mungkin dapat terjadi. Namun, Kyai Rosyid (tetua pesantren) menginginkan agar hal ini agar dapat mengalir seperti arus air yang mengalir deras namun akan lebih cepat untuk sampai tujuan.
Hal positif yang ada dalam perdebatan tersebut adalah sebuah syair puisi yang terangkai indah yang selalu terurai dari kedua belah pihak.
Ustadz Ridwan
Sang bintang tetap akan menjadi bintang
Yang akan selalu bersembunyi digelap malam
Andaikan bintang itu datang
Maka tak seindah sekarang
Karena bintang indah karena kejauhan

Biarlah hanya rembulan yang datang
Menjadi sinar yang terang dikala malam
Sebab sinar sang bintang
Takkan lebih trang dari rembulan

Lathifa
Biarkan bintang menjadi bintang
Biarkan bulan menjadi bulan

Bintang haruslah berjauhan
Agar untuk membantu rembulan

Sebab, rembulan bukanlah rembulan
Jika tak ada bintang-bintang
            Puluhan tangan selalu beradu menghiasi suasana kelas ketika datang hari sabtu. Hal ini tentu saja tidak membuat Tifa sombong ataupun marah kepada Ustadz Ridwan karena senyum selalu terpancar diantara keduanya ketika seruan syair selesai terdengar, begitu pula sebaliknya. Ya, ini merupakan sikap pendewasaan.
            Lathifa sangat pandai mengarang kata-kata, terbukti dari lima puluh persen buku tulis yang dikirim orang tuanya banyak yang dia gunakan untuk mengarang cerita pendek atau novel bersambung. Walaupun begitu, hati Tifa masih merasa tidak tenang karena merasa tidak ada media yang akan menyebarkan karangannya yang indah itu. Tapi, bukan Lathifa namanya bila akal berkurang dari otaknya. Lathifa berjanji dalam hati, suatu saat dia akan menjadi seorang pengarang yang dilihat oleh dunia, tapi untuk saat ini biarlah para santriwati yang bisa melihat karangannya.
            Untuk saat ini Tifa sangat berharap bahwa pesantren yang ia tempati mau memasukkan benda elektronik ke dalam lingkungan pesantren. Di setiap ustadz bertanya kepada muridnya tentang pelajaran di kelas, Tifa selalu mengangkat tangan dan bertanya tentang hadirnya komputer di lingkungan ini. Jelas para kyai sampai Ustadz dan Ustadzah menolak untuk menanggapi permintaan Tifa, pasalnya, mereka beranggapan bahwa komputer lebih bayak mudhorotnya dari pada manfaatnya. Bahkan hal ini pernah jadi perdebatan para Ustadz tentang status halal haramnya sebuah komputer bagi Muslimah.
            Sering Tifa menghilang dari pesantren ketika waktu tidur siang tiba dan tidak ada yang mencarinya. Menghilangnya Lathifa bukan untuk bersenang-senang melampiaskan ketidak puasannya atas keputusan para kyai, tapi dia pergi untuk mengembangkan bakatnya. Setiap waktu tidur siang, Tifa sering pergi ke Warnet disekitar pedesaan untuk bermain internet sekaligus komputer. Banyak uang dari kiriman orang tua Tifa habis untuk bermain internet. Sering juga Tifa menuliskan cerita-cerita yang bersambung di jejaring sosial.
            Banyak sekali puisi yang ditulis Tifa, bahkan Tifa sering mendapat like lebih dari lima puluh karena puisinya. Salah satunya adalah seperti puisi “kambing dalam Bayangan”
Kambing Hitam dalam Bayangan

Bisa dibayangkan seperti apa aku
Aku bagai mutiara yang indah
Namun tertutup karang
Hidup terkekang
Seperti penjara buatan

Mungkin hidupku seperti ayam
Yang ditaruh dalam kandang
Dan dihantam batu jika keluar dari batas tuan

Bisa dibayangkan seperti apa aku
Aku terkekang
Tak boleh keluar kandang
Seperti halnya burung sangkar
Yang tak diperbolehkan terbang

Bila aku membayangkan
Aku tak ingin menjadi burung atau ayam
Tapi kambing hitam dalam bayangan
            Lathifa adalah santriwati yang sangat taat beribadah, hanya saja dia berbeda dengan santriwati lainnya. Jika santriwati lainnya berusaha susah payah mendalami ilmu agama untuk akhirat, Tifa sangat ingin menyeimbangkan ilmu dunia dan akhiratnya. Namun kehidupan di pesantren Nurul Khasanah tidak mendukung keinginan tersebut, sehingga aroma teknologi dan kehidupan dunia luar sangat membuatnya terpesona.
            Pada saat Tifa pulang kampung kerumahnya di Kudus selalu digunakan Tifa untuk menyentuh komputer lama yang berada di kamar ayahnya. Lembar demi lembar Tifa menyalin buku novelnya ke dalam komputer. Sering kegiatan yang Tifa lakukan ini membuat Tifa lupa akan perutnya yang terus berdendang seperti ketukan gendang dalam musik dangdut. Tentu saja ibu Lathifa atau biasa dipanggil ibu Salmah selalu berkicau disaat  melihat Lathifa berpetualang dengan imajinasinya di Microsoft Word.
            “bok ya kamu makan dulu Tifa, nasi tak selamanya menjadi nasi” kata halus seorang ibu Salmah.
            “sebentar mak... Tifa hanya menyusun kelereng biar bisa berharga” sahut Tifa dengan pandangan mata tetap melihat ke arah komputer dan tangan tetap memijit huruf-huruf yang berpencar di papan hitam.
            “kamu yakin nok, bahwa kelereng bisa menjadi mutiara. Begitu susah hidup jika terus mengandalkan kelereng” kata sang ibu yang mencoba merayu anaknya untuk makan.
            “kita hanya bisa balajar, berjuang dan bertaqwa mak... Benang bisa seperti sutra jika di tangan orang yang pandai, kelereng bisa menjadi mutiara jika ditangan orang yang selalu berjuang dan hidup akan menjadi tentram ketika bertaqwa kepada Allah. Lalu, apa yang perlu kita ragukan dalam hidup.” Kata-kata Tifa yang kini mejadi ide untuk karangnnya.
            “ma’e bangga atas usahamu nok, tapi seorang ibu akan lebih bangga ketika anaknya sehat dan bisa menjaga dirinya.” Senyum ibu Salmah kearah anak perempuan satu-satunya.
            “sip, mak...” bergegas Tifa menyelesaikan apa yang dia lakukan dan berpaling ke arah sang ibu dengan tangan dalam posisi hormat seperti tentara.
            Bisa dikatakan jika Lathifa adalah seorang anak yang manja kepada kedua orang tuanya. Anak satu-satunya yang sudah lama jauh dari orang tuanya merupakan faktor utama dari sifat manjanya. Tidak jarang sikap manja anak tujuh tahun selalu diperlihatkan dihadapan kedua orang tuanya ketika Tifa mendapatkan waktu untuk dirumah.
            Keluarga Lathifa bukanlah termasuk keluarga yang mampu, tapi bukan pula tergolong pada keluarga yang tidak mampu. Biasa saja, itu yang membuat keuarga ini mensyukuri ni’mat yang diberikan kepada tuhan. Mereka berpendapat jika mereka kaya nanti, mereka akan melupakan tuhan yang telah memberikan rizki yang berlimpah kepada mereka. Apabila mereka fakir, hal yang mereka takutkan adalah keluhan yang selalu terucap di dalam bibir karena bisa saja fakir menjadikan kafir. Begitulah, setiap hari yang terjadi dalam keluarga ini adalah senyum canda tawa bahagia yang telah menjadi nada dalam keluarga.
            Bapak Salman, begitulah ayah Lathifa biasa dipanggil adalah seorang guru agama yang mengajar di Madrasah Tsanawiyah di desa Kedungdowo. Tidak ada yang istimewa dari sosok bapak yang satu ini, hanya seorang ayah yang selalu mencoba menjadi yang terbaik bagi anaknya dan seorang suami yang bekerja banting tulang untuk menghidupi keluarganya agar tetap dalam kehidupan yang seimbang.
            Selalu ada hal yang dikhawatirkan oleh seorang ayah kepada anaknya, begitu pula bapak Salman. Dalam pikiran ayah ini, apakah dia bisa tetap membiayai anaknya untuk bisa menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Pertanyaan inilah yang pernah terucap ketika keluarga ini sedang makan bersama.
            “ndok, apa rencanamu selanjutnya,,, bukankah sebentar lagi kamu sudah tidak di pesantren lagi...” pertanyaan bapak Salman kepada anaknya.
            “saya ingin menjadi seorang penulis pak” jawab Tifa dengan penuh keyakinan.
            “ya kalau gitu, semoga kamu bejo ya ndok... pa’e hanya bisa berdo’a, ndak sanggup membantu banyak, la... pa’e cuma guru biasa yang tinggal di desa Blimbing Kidul yang merupakan desa terpencil.” Ucap bapak Salman.
            “nggeh pak, orang bodoh itu kalah sama orang pintar dan orang pintar kalah sama orang bejo, tapi setidaknya aku berusaha menjadi pintar agar lebih dekat dengan bejo, karena sesungguhnya bejo itu lebih dekat dengan orang pintar yang berusaha dari pada orang pintar yang diam apalagi orang bodoh. Kalau boleh, Tifa ingin kuliah pak.” Permintaan polos Tifa.
            “orang tua mana yang akan menolak seorang anak yang mau berjihad untuk memberantas kebodohan. Sebisa mungkin bapak akan berusaha agar cita-cita kamu bisa nyata.” Dengan suara halus bapak Salman menjawab permintaan anaknya. Suasana yang sangat hangat hadir bagaikan embun yang selalu datang di pagi hari kala itu. Lathifa merasa ini adalah saat-saat terindah yang tidak akan pernah dilupakan, sungguh indah nikmat yang Allah berikan kepada hambanya berupa suasana makan bersama keluarga tercinta.
            “memangnya kamu mau kuliah dimana dan mau ambil jurusan opo nok?” sahut ibu Salmah memotong pembicaraan ayah dan anak itu.
            “insyaallah Tifa mau kuliah di Kudus mak, Tifa ndak mau jauh dari pa’e dan ma’e. Nanti biar Tifa ambil di fakultas yang mengedepankan ilmu Agama dan rencananya Tifa akan mengambil jurusan Syari’ah Ekonomi Islam” jawab Tifa dengan penuh kehalusan.
            “lo, bukane kamu suka menulis tho nok. Apa kamu yakin ndak mau ambil jurusan bahasa saja?” Tanya ibu Salmah sambil menuangkan minum untuk bapak Salman.
            “Menulis bisa belajar dari mana saja mak, untuk saat ini Tifa hanya ingin menimba ilmu, Tifa mengambil jurusan Syari’ah Ekonomi Islam karena Tifa pikir sudah saatnya Tifa menyeimbangkan ilmu agama Tifa dengan ilmu dunia. Toh juga kalau ambil jurusan bahasa pasti biayanya mahal, Tifa ndak mau nyusahin pa’e dan ma’e.” Singkat penjelasan Tifa kepada ibunya.
            “ndak apa-apa tho mak, masih ada banyak jalan menuju Roma. Jika memang Tifa tidak mengambil jurusan bahasa, pasti masih banyak jalan untuk menjadi penulis, yang penting untuk saat ini adalah jihadnya Tifa untuk memberantas kebodohan. Syari’ah Ekonomi Islam juga kan bagus, itung-itung akan membantu Tifa nanti dari penipuan.” Sambung bapak Salman meneruskan kata-kata Tifa. Serentak suasana menjadi semakin indah karena tawa bahagia merona di bibir mereka.
            Lathifa berharap agar keluarga ini akan tetap seperti ini, ceria, tenang dan bahagia seperti sosok keluarga yang selalu didambakan oleh kebanyakan orang. Perasaan ini mendadak berubah ketika Tifa membayangkan bahwa dia adalah seorang gadis yang telah berumur delapan belas tahun. Lathifa takut akan menghadapi pernikahan di usia muda karena kebanyakan gadis seusianya sudah banyak yang menikah. Memang ketakutan itu wajar adanya, karena Tifa masih ingin bisa bersama keluarganya menjadi seorang anak yang akan selalu dimanja kedua orang tuanya.
            Kedua mata Tifa serentah bergerak kearah ibu Salmah yang duduk di sebrang meja di depan Tifa. Dalam pikirannya tak terbayang bagaimana rasa harus berpisah dengan ibu tercinta nanti karena pernikahan. Walaupun kata pernikahan itu terasa masih akan lama, tapi kata lama itu akan terasa singkat terdengar ketika terbayang kasih sayang ibu dari kecil.
            Bagi Tifa, ibu adalah sosok wanita yang sangat tegar dan penyayang. Walau banyak pepatah yang mengatakan kasih sayang anak hanya sebatas jalan dan kasih ibu sepanjang usia, tapi untuk tifa, kasih sayang seorang anak akan tetap ada sampai kapanpun. Begitulah kata yang selalu Ibu salmah katakan ketika menceritakan sosok ibu dari ibu salmah kepada Tifa.
            Ibu Salmah dahulu adalah seorang gadis muda yang tidak mempunyai apa-apa. Sepanjang usia mudanya dihabiskan untuk pergi ke pasar dengan ibunya untuk menjual beberapa ayam muda yang dia pelihara. Ibu Salmah dari kecil sudah hidup sebatang kara dengan ibunya karena ayahnya telah tiada semenjak berusia tiga tahun. Maka dari itu ibu Salmah mengetahui perjuangan seorang ibu kepada anaknya. Karena itulah, ibu Salmah sangat menyayangi ibunya lebih dari apapun di dunia ini. Bahkan sampai dalam pernikahannya dengan bapak Salman, ibu Salmah meminta izin kepada suaminya untuk diperbolehkan merawat sang ibu di masa tuanya. Sampai sekarang setelah kematiannya dua belas tahun lalu, ibu Salmah tetap mendo’akan ibunya yang telah tiada. Itulah yang menjadi contoh pandangan hidup bagi Tifa.
Rindu Ibu
Sosok ibu menjadi langkah hidupku
Menjadi nadi di tanganku
Betapa aku sangat merindu ibu
Seperti kala aku dipeluknya
Semasa kecilku dulu

Namun tak ada yang abadi
Semua kenangan hanya menjadi kenangan
Kini ibu telah tiada
Menyisakan air mata karena cinta

Teringat masa kecil dulu
Dimana aku dipeluknya
Selalu diciumnya
Dan digendong kasih sayangnya

Namun kini tak ada yang sehangat peluknya
Tak semanis ciumannya
Dan tak seindah kasih sayangnya

Jika engkau mendengarkan aku ibu
Ingin aku memelukmu
Berharap mendapat kasih sayangmu
Dan berkata, aku rindu kepadamu
            Kenangan yang tak terlupakan bersama seroang ibu akan menjadi cinta yang baru untuk anaknya kelak. Begitu pula yang terjadi kepada ibu Salmah, kenangan yang indah bersama sang ibu telah menjadi kekuatan untuk memberi kenangan yang baru bersama anaknya, Lathifa. Semua itu yang dirasakan oleh Tifa. Hadiah puisi “Rindu Ibu” adalah rasa penghargaan yang diberikan Tifa kepada ibu Salmah yang selalu mencintai ibunya dan puisi itu juga menjadi kado terindah bagi ibu Salmah dari anak tercinta.
            Air mata Tifa menetes ketika memandangi ibunya kala itu. Rasa syukur selalu di panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena Tifa masih bisa merasakan keluarga yang harmonis.
            “Tifa, Tifa, ono opo nok?” suara ibu salmah yang memanggil anaknya yang terlihat meneteskan air mata. Perlahan Tifa beranjak dari tempat duduknya dan mendekati ibunya yang mulai keheranan. Perlahan Tifa memeluk ibunya seranya menyusun senyuman manis di bibirnya dan berkata, “aku sayang ma’e”.
            Suatu hari nanti memang akan datang masa dimana Lathifa akan menjalani hidup seperti kedua orang tuanya. Namun saat ini hal itu tidak perlu dipikirkan oleh anak remaja yang tumbuh dewasa. Mereka hanya perlu berpikir bagaimana cara untuk menyusun masa depannya agar menjadi lebih baik. Semboyan bagi Tifa adalah hidup saat ini adalah perjuangan untuk hidup saat depan dan jika tak berjuang maka hidup kita kedepan akan mati.
#

daftar populer